Pengertian Ihsan
Sabda Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam ketika menjelaskan tentang Ihsan :
أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
"Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, jika tidak mampu melihatnya maka sesungguhnya Allah melihat kepadamu."
Maknanya adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau berdiri di hadapan Allah melihat-Nya. Orang yang demikian itu akan beribadah dengan penuh dan sempurna. Seandainya tidak mampu dengan keadaan seperti ini maka dia harus merasa bahwa Allah mengawasinya tidak luput sedikitpun dari Allah, sehingga dia berhati-hati jika Allah melihatnya ketika Allah melarangnya, dan dia beramal ketika Allah perintahkan dengan merasa diawasi oleh Allah. Ibnu Rajab berkata ketika menjelaskan hadits ini dalam kitab beliau : Jami'ul 'Ulum wal Hikam (1/126): Maka sabda Nabi shalallahu 'alayhi wa sallam tentang tafsir Ihsan yaitu engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya -sampai akhir hadits- mengisyaratkan bahwa seorang hamba beribadah kepada Allah dengan sifat ini, yaitu menghadirkan kedekatan-Nya, dan dia di depan Allah seolah-olah dia melihat Allah, yang ini akan menyebabkan timbulnya rasa takut, segan dan pengagungan sebagaimana dalam riwayatnya Abu Hurairah radhiyallahu'anhu: "Engkau takut kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya" sehingga mengharuskan pula rasa empati dalam ibadah, dan mengeluarkan seluruh usaha keras untuk membaguskan ibadah tersebut, melengkapi dan menyempurnakannya.
Ibnu Rajab berkata pula (1/128-129): Sabda beliau shallallahu'alayhi wa sallam:
فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
"Apabila engkau tidak mampu untuk merasa melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah melihatmu."
Dikatakan bahwasanya ini adalah alasan untuk yang pertama, sesungguhnya seorang hamba apabila diperintahkan untuk muroqobah (merasa selalu diawasi) oleh Allah dalam ibadah dan menghadirkan kedekatan-Nya kepada hamba-Nya sehingga seolah-olah hamba tersebut melihatNya sesungguhnya hal ini terkadang sangat berat bagi hamba tersebut, maka kemudian untuk mewujudkan hal itu dia menggunakan bantuan keimanannya bahwa Allah melihatnya, senantiasa mengetahui rasahasianya, apalagi perbuatan-perbuatan yang ia lakukan terang-terangan, melihat batinnya dan zhohirnya, tidak ada sedikitpun urusannya yang tersembunyi atas Allah, apabila kedudukan ini terwujud maka akan mudah baginya untuk berpindah pada kedudukan yang kedua yaitu senantiasa dilingkupi dengan pengetahuannya dengan kedekatan Allah dan kebersamaan-Nya kepada hamba-Nya sehingga seolah-olah hamba terebut dapat melihat-Nya.
Dikatakan pula : Bahwa ini adalah isyarat bahwa orang yang berat baginya untuk beribadah kepada Allah dengan seolah-olah dia melihat-Nya, maka hendaknya ia beribadah kepada Allah dengan (menghadirkan) bahwa Allah melihatnya, mengawasinya, kemudian hendaknya ia malu dari pengawasan Allah kepadanya.
Ibnu Rajab berkata pula (1/130) : Telah datang hadits-hadits yang shahih yang menganjurkan untuk menghadirkan kedekatan ini dalam ibadah-ibadah. Kemudian Ibnu Rajab menyebutkan sejumlah hadits-hadits lalu berkata : Siapa yang memahami dari dalil-dalil ini sedikit saja tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk) atau hulul (Allah menempati makhluk-Nya) atau ittihad (Allah menyatu dengan makhluk-Nya), sesungguhnya pemahaman ini hanyalah didapatkan dari kebodohan orang tersebut dan jeleknya pemahamannya tentang Allah dan rasul-Nya shallallahu 'alayhi wa sallam, sedangkan Allah dan rasul-Nya berlepas diri dari itu semua, Maha Suci Dzat yang tidak ada yang menyerupai-Nya sesuatupun, dan dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Di Sadur dari Kitab Syarah Hadits Jibril Karya Syeikh Abdul Muhsin bin Hamd Al - Badr Hafidahullah ta'ala
Tidak ada komentar:
Posting Komentar