Pages

Senin, 14 Maret 2016

Hak Muslim Atas Muslim Yang Lain


Hak Muslim Atas Muslim Yang Lain


Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ إِذَا لَقِيْتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ وَإِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْهُ وَإِذَا عَطِسَ فَحَمِدَ اللهَ فَشَمِّتْهُ وَإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ وَإِذَا مَاتَ فَاتَّبِعْهُ

Rasulullah shallallahu ‘alaih wa sallam bersabda, “Hak seorang muslim atas muslim yang lainnya ada enam. Jika engkau berjumpa dengannya maka ucapkanlah salam. Jika ia mengundangmu maka penuhilah undangannya. Jika ia meminta nasihat maka nasihatilah. Jika ia bersin dan mengucapkan ‘alhamdulillah’ maka balaslah. Jika ia sakit maka kunjungilah. Dan jika ia meninggal maka iringilah jenazahnya!”(HR. Muslim).

Perkataan Nabi shallallahu ‘alaih wa sallam ‘hak seorang muslim atas muslim yang lain ada enam’, bukanlah untuk pembatasan. Beliau terkadang menyebutkan beberapa perkara dan membatasinya, padahal masih ada lagi hukum yang lainnya. Selain enam perkara ini, masih ada hak-hak lain seorang muslim atas muslim lainnya. Kemudian siapakah yang dimaksud dengan muslim yang kita diperintahkan untuk memenuhi hak-haknya? Jawabnya, seorang muslim adalah orang yang bersyahadat ‘laa ilaaha illlallah’(tidak ada sembahan yang benar kecuali Allah) dan ‘muhammad rasulullah’ (Muhammad adalah utusan Allah), serta tidak mengerjakan amalan-amalan yang membuatnya kafir.

Berdasarkan hadits di atas, hak seorang muslim atas muslim yang lain adalah sebagai berikut:

1.   Mengucapkan salam kepadanya apabila bertemu
Mengucapkan salam ketika bertemu adalah hak seorang muslim atas muslim yang lain. Namun apakah hak ini hukumnya wajib? Jawabnya adalah tidak wajib, dengan dalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaih wa sallam memberi keringanan dalam perkara mendiamkan seorang muslim selama kurang dari tiga hari. Beliau shallallahu ‘alaih wa sallam bersabda, “Tidak halal bagi seorang muslim untuk mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari. Keduanya bertemu, namun satu sama lain saling berpaling. Yang paling baik dari keduanya adalah yang memulai salam.”

2.   Memenuhi undangannya
Mayoritas ulama berpandangan bahwa memenuhi undangan bukanlah perkara wajib kecuali untuk undangan pernikahan. Namun sebagian ulama lainnya berpandangan bahwa memenuhi undangan (secara umum) adalah wajib dengan melihat zahir perintah yang ada. Adapun hukum mengucapkan salam yang mustahab, itu karena ada dalil lain yang menunjukkan hal tersebut.

Yang tampak lebih kuat adalah bahwa memenuhi undangan bukanlah perkara wajib kecuali untuk undangan pernikahan, sebab Nabishallallahu ‘alaih wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang tidak memenuhi undangan (pernikahan) maka sungguh ia telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya.” Zahir hadis ini menunjukkan bahwa hukum memenuhi undangan pernikahan adalah wajib secara mutlak. Namun ada hal yang harus diperhatikan:

1.  Perlu diketahui bahwa undangan tersebut bukan untuk sesuatu yang diharamkan. Misalnya Anda tahu bahwa orang yang mengundang Anda suka mencuri harta orang. Ia kemudian mengundang Anda untuk memakan harta curiannya. Undangan seperti ini haram untuk dipenuhi.

2.  Perlu diketahui bahwa dalam undangan makan itu tidak terdapat kemungkaran. Jika ada perkara mungkar di dalamnya, maka perlu dipertimbangkan apakah Anda mampu menghilangkannya atau tidak? Kalau mampu, maka Anda wajib datang karena dua sebab: memenuhi undangan (jika kita berpandangan bahwa ia adalah perkara wajib) dan menghilangkan kemungkaran. Namun jika Anda tidak memiliki kemampuan untuk menghilangkannya dan Anda duduk-duduk bersama mereka, berarti Anda bersekutu dengan mereka dalam perbuatan dosa.

Hal ini berdasarkan firman Allah Taala, “Dan sungguh Allah telah menurunkan (larangan) kepada kamu di dalam Al Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka…” (QS. an-Nisaa: 140)

3.   Memberinya nasihat ketika ia memintanya
    Jika ada seorang muslim yang meminta nasihat dari Anda, maka Anda wajib menasehatinya. Baik dalam bentuk bermusyawarah ataupun bentuk yang lain. Jika ia tidak meminta nasihat darimu dengan ucapannya, namun perbuatannya menunjukkan bahwa ia membutuhkan nasehat; yaitu Anda mengetahui bahwa perbuatannya akan menyebabkannya tertimpa mudharat, dan mudharat itu bisa dihindari apabila Anda memberinya nasihat, maka Anda juga wajib menasihatinya. Sebab walaupun ia tidak meminta nasihat dengan ucapannya, sesungguhnya ia meminta nasihat dengan perbuatannya.

4.   Menjawabnya ketika ia bersin dan mengucapkan ‘alhamdulillah’
   Dari hadits di atas dipahami bahwa jika seorang muslim bersin dan tidak mengucapkan alhamdulillah, maka tidak diperintahkan untuk menjawabnya. Menjawab orang yang mengucapkan alhamdulillah setelah bersin adalah dengan mengucapkan yarhamukallah(semoga Allah merahmatimu) sampai bersin yang ketiga kali. Apabila ia bersin sampai empat kali, maka katakanlah, ‘aafaakallahu(semoga Allah menyembuhkanmu). Sebab ia sedang terserang flu. Kemudian, apakah perintah Nabi shallallahu ‘alaih wa sallampada hadits di atas menunjukkan hukum wajib? Jawabnya, ya. Hukumnya wajib.

5.   Menjenguknya ketika ia sakit
   Mayoritas ulama berpandangan bahwa hukum menjenguk seorang muslim yang sakit adalah sunnah. Namun yang benar, hukumnya adalah fardhu kifayah. Seorang muslim wajib menjenguk saudaranya sesama muslim yang sakit jika tidak ada seorang pun yang menjenguknya. Ia tidak boleh membiarkannya begitu saja. Sebab yang demikian berarti memutus ikatan hubungan antara seorang muslim dengan muslim yang lain. Anda wajib menjenguk seorang muslim yang sakit, apabila Anda tahu bahwa tidak ada seorang muslim pun yang menjenguknya.

   Di antara faidah hadits di atas adalah bahwa mengunjungi orang sakit bukanlah hak seorang muslim yang harus ditunaikan, jika sakitnya tidak sampai menyebabkannya harus tinggal di dalam rumah. Kunjungan dilakukan karena orang yang sakit itu tidak dapat keluar rumah. Kalau ia sakit namun masih bisa berjalan pulang dan pergi, ia tidak wajib dikungjungi.

   Dalam hadits di atas tidak disebutkan apa yang harus dikerjakan ketika berkunjung kepada orang yang sakit. Apakah harus berlama-lama atau sebentar saja? Apakah harus diam atau mengajaknya bicara?

   Maka dikatakan, dalam hal ini pertimbangkanlah keadaan si sakit. Jika ia merasa akrab dengan Anda dan Anda tahu bahwa ia senang dan lapang hatinya jika Anda tetap tinggal dan mengajaknya bicara, maka lebih utama untuk tinggal dan berbicara dengannya. Namun jika Anda lihat bahwa ia senang untuk menyendiri dengan keluarganya, maka lebih utama untuk tidak berlama-lama mengunjunginya. Demikian pula jika Anda melihat ada kesempatan untuk membacakan kepadanya ayat-ayat Quran atau hadits-hadits Nabi yang berisi anjuran untuk bersabar, maka lakukanlah. Intinya, lakukanlah apa yang sekiranya bisa membuatnya senang.

6.   Mengiringi jenazahnya ketika ia meninggal dunia  
   Mengiringi jenazah seorang muslim adalah fardhu kifayah. Apabila sudah ada orang yang mengerjakannya, gugurlah kewajiban itu atas yang lain. Dalil tentang hal ini di dalam sunnah Nabi shallallahu ‘alaih wa sallam cukup banyak. Di antaranya adalah riwayat bahwa Nabi shallallahu ‘alaih wa sallam pernah dilalui oleh iring-iringan jenazah ketika beliau sedang duduk-duduk bersama para sahabatnya. Para sahabat lalu memuji orang mati tersebut.

    Maka beliau berkata, “Wajib baginya.” Kemudian lewatlah di hadapan beliau iring-iringan jenazah yang lain. Lalu para sahabat memberikan penilaian negatif terhadap orang mati itu. Maka Nabi shallallahu ‘alaih wa sallam bersabda, “Wajib baginya.” Tidak disebutkan dalam hadits ini bahwa Nabi shallallahu ‘alaih wa sallam kemudian berdiri dan ikut mengiringi jenazah itu. Dalil-dalil yang menguatkan hal ini juga sangat banyak. Dengan demikian, hukum mengiringi jenazah seorang muslim adalah fardhu kifayah, bukan fardhu ‘ain.

   Berkaitan dengan hal ini, orang yang ikut mengiringi jenazah seorang muslim akan mendapat pahala. Jika ia menyaksikan jenazah itu sampai menyalatkannya, ia mendapat pahala satu qirath. Dan jika ia menyaksikannya sampai jenazah itu dikuburkan, ia mendapat pahala dua qirath. Ada seorang sahabat yang bertanya, “Apa yang dimaksud dengan qirath wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Semisal dua gunung yang besar. Yang terkecil dari keduanya sebesar gunung Uhud.

  Namun perlu diketahui, jika pada iring-iringan jenazah itu terdapat kemungkaran, misalnya orang-orang yang mengikuti jenazah memutar lagu duka cita atau yang semisalnya, sedangkan hal seperti itu tidak mungkin dihilangkan, maka janganlah Anda ikut mengiringinya. Sebab menghadiri setiap perkara yang mengandung kemungkaran, padahal Anda tidak dapat menghilangkannya, adalah haram.

  Hendaklah orang-orang yang ikut mengiringi jenazah seorang muslim memikirkan tempat kembalinya di akhirat dan menjadikan apa yang dilihatnya sebagai nasihat. Orang yang sekarang digotong di atas pundak-pundak para pengiringnya, kemarin juga menggotong jenazah orang lain di pundaknya. Orang yang kemarin berlalu lalang di muka bumi, boleh jadi hari ini dikubur di dalam tanah. Tidak mustahil, hal itu juga akan terjadi pada Anda.

    Sungguh Anda tidak tahu kapan Anda akan meninggal dunia dan mengalami apa yang sedang dirasakan oleh orang yang mati itu. Maka sudah semestinya orang-orang yang mengiringi jenazah memikirkan akhir kehidupan dan tempat kembalinya kelak. Janganlah mereka seperti kebanyakan orang yang jika mengiringi jenazah mereka tertawa-tawa dan membicarakan urusan duniawi. Kondisi mengantar jenazah bukanlah saat yang tepat untuk membicarakan urusan duniawi. Setiap pembicaraan, ada kondisinya sendiri-sendiri.

   Demikianlah enam hak yang disebutkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaih wa sallam dalam hadits di atas. Hadis tersebut menunjukkan bahwa kaum muslimin memiliki hak antara satu dengan yang lainnya. Tujuannya adalah untuk memperkuat ikatan dan hubungan di antara mereka. Sesama muslim hendaknya saling menunaikan hak-hak saudaranya agar tercipta kerukunan dan keakraban di antara mereka.

(Disadur dari Fathu Dzii al-Jalaal wa al-Ikraam bi Syarh Bulugh al-Maram, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar