Pages

Senin, 14 Maret 2016

Sudah Benarkah Ibadah Kita?




Sudah Benarkah Ibadah Kita?



Allah Subhaanahu wa ta’ala berfirman yang artinya: “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyaat: 56) Pada ayat ini Allah memberitakan bahwa Dia tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Nya. Dengan demikian ayat ini menjelaskan hikmah atau tujuan mereka diciptakan. Allah memerintahkan mereka untuk beribadah kepada-Nya untuk kemaslahatan mereka sendiri, bukan karena Allah memiliki kepentingan kepada mereka. Allah Maha Kaya dan sama sekali tidak membutuhkan apapun dari makhluk-Nya.
Beribadah kepada Allah ‘azza wa jallaa adalah tujuan penciptaan jin dan manusia di dalamnya terdapat kemaslahatan bagi kehidupan dunia dan akhirat.
Pengertian Ibadah
Ibadah secara bahasa berarti menghinakan dan merendahkan diri. Sedang secara istilah, ia adalah segala perkara yang dicintai dan diridhai oleh Allah, baik berupa perkataan ataupun perbuatan, yang tampak ataupun yang tersembunyi.
Cakupan dan Jenis-Jenis Ibadah
Ibadah bermacam-macam jenisnya dan mencakup semua bentuk ketaatan kepada Allah, baik yang tampak ataupun yang tersembunyi. Ditinjau dari anggota badan yang melakukannya, ibadah terbagi menjadi tiga:
1. Ibadah yang dikerjakan dengan hati, seperti cinta, takut, berharap, tawakkal, dan yang semisal dengan ini.
2. Ibadah yang dikerjakan dengan lisan, seperti  bertahmid, bertahlil, bertasbih, dan yang semisal dengan ini.
3. Ibadah yang dikerjakan oleh anggota badan, seperti berperang dijalan Allah, shalat, puasa, zakat, dan yang semisal dengan ini.
Setiap perkara mubah yang dilakukan oleh seorang muslim akan menjadi ibadah jika diniatkan untuk mendekatkan diri atau membantunya taat kepada Allah, seperti makan, minum, jual-beli, mencari rezeki, dan lain-lain. Semua perkara ini menjadi ibadah ketika diniatkan untuk memperkuat diri dalam menjalankan ketaatan kepada Allah.

Metode Yang Benar Dalam Menunaikan Ibadah
Dalam menunaikan ibadah terdapat dua kelompok ekstrim yang saling bertentangan di kalangan manusia. Kelompok pertama memandang ibadah secara sempit dan menyepelekannya, sehingga banyak ibadah yang ditinggalkan. Bagi mereka, ibadah hanya sekedar amalan ritual yang dikerjakan di masjid saja, sedangkan di rumah, kantor, jalan, hubungan sosial kemasyarakatan, politik, dan segala aspek kehidupan yang lain tidak ada kaitannya dengan ibadah. Pandangan seperti ini keliru, karena ibadah tidak terbatas pada ritual yang dikerjakan di masjid saja. Ibadah terdapat pada seluruh aspek kehidupan seorang muslim, baik di dalam ataupun di luar masjid.
Adapun kelompok kedua yang merupakan lawan dari kelompok pertama, menerapkan ibadah sampai keluar dari batasannya. Mereka mewajibkan atau mengharamkan perkara-perkara yang diperbolehkan oleh agama, dan menganggap sesat orang-orang yang tidak sependapat dengan pandangan mereka ini. Pandangan seperti ini juga keliru, karena ibadah tidaklah ditetapkan dengan akal pikiran ataupun perasaan. Seseorang tidak bisa mewajibkan atau mengharamkan sesuatu kecuali hal itu memang diwajibkan atau diharamkan oleh Allah.
Maka bersikap pertengahan, yaitu beribadah kepada Allah sebagaimana yang disyariatkan dengan tidak menyepelekan atau berlebihan dalam menjalankannya adalah metode yang benar dalam perkara ini. Karena Allah berfirman kepada Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas.” (QS. Huud: 112)

Ibadah Bersifat Tauqifiyah
Ketahuilah bahwa ibadah adalah sesuatu yang sifatnya tauqifiyah (tidak ditetapkan kecuali dengan dalil dari al-Quran dan as-Sunnah). Sesuatu yang dianggap ibadah namun tidak ada sumbernya dari al-Quran dan as-Sunnah, tertolak dan tidak diterima oleh Allah, bahkan pelakunya berdosa, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa mengada-adakan  dalam agama ini satu perkara yang tidak ada dasar darinya maka perkara itu tertolak.” (HR. Bukhari 2550) Dalam riwayat lain beliau bersabda: “Barangsiapa beramal dengan satu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan itu tertolak.” (HR. Muslim 4590) Dengan dasar ini  para ulama bersepakat bahwa hukum asal ibadah adalah haram. Sehingga barangsiapa menetapkan sesuatu sebagai ibadah hendaknya ia menunjukkan dalilnya dari al-Quran ataupun as-Sunnah.

Rukun Ibadah
Ibadah dibangun di atas tiga rukun: rasa cinta, takut, dan harap. Sebagian ulama ada yang menjadikannya empat rukun; rasa cinta, pengagungan, takut, dan harap. Kedua pendapat ini tidaklah bertentangan, karena seseorang berharap kepada sesembahannya, karena ia mencintai sesembahannya itu. Dan ia merasa takut kepada sesembahannya, karena sesembahannya itu memiliki keagungan. Pengharapan muncul dari kecintaan dan rasa takut muncul dari pengagungan.
Sungguh Allah memuji para Nabi dan Rasul yang merasa takut dan berharap ketika beribadah kepada-Nya. Allah berfirman: “Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdo’a kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.” (QS. al-Anbiyaa: 90) “(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (QS. az-Zumar: 9) “Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti.” (QS. al-Israa: 57) “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdo’a kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap, serta mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan.” (QS. as-Sajdah: 16)
Inilah ibadahnya para Nabi, Rasul, dan orang-orang yang beriman. Beribadah kepada Allah karena cinta kepada-Nya, takut dari kemurkaan dan siksaan-Nya, dan berharap keridhaan, pahala serta surga-Nya.
Adapun ibadah yang hanya didasari rasa cinta semata, tidaklah benar dan mencukupi. Karena rasa cinta semata akan menjadikan Allah berkedudukan seperti seorang teman atau kekasih. Sehingga seseorang tidak merasa takut untuk melakukan perkara-perkara yang diharamkan. Bahkan ia akan menganggap kemaksiatan itu sebagai sesuatu yang ringan, dengan alasan bahwa pihak yang dicintai tidak akan menyiksa kekasihnya. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang sufi yang melampaui batas: “Kami beribadah kepada Allah bukan karena takut akan siksaan-Nya ataupun mengharap pahala dari-Nya, kami beribadah kepada Allah hanya karena kecintaan kepada-Nya.
Tidak ragu lagi bahwa hal seperti ini adalah keliru dan jauh dari kebenaran, serta memiliki dampak yang amat buruk. Ia akan membuat orang merasa aman dari makar  Allah dan bahkan dapat mengeluarkannya dari agama.
Disamping itu ibadah yang dikerjakan dengan landasan rasa takut semata, tanpa rasa cinta dan pengharapan, juga salah. Ibadah ini adalah seperti ibadahnya orang-orang khawarij (kelompok sempalan dalam Islam). Mereka beribadah kepada Allah tidak dengan rasa cinta kepada-Nya, sehingga mereka tidak mendapati kenikmatan dalam beribadah. Kedudukan Sang Pencipta menurut mereka seperti penguasa yang jahat atau raja yang bengis. Hal ini tentu akan menjadikan seseorang putus asa dari rahmat Allah dan bersikap kufur serta berprasangka buruk kepada-Nya. Padahal di dalam sebuah hadist qudsi, Allah subhaanahu wa ta’ala berfirman: “Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku, dan Aku akan bersamanya ketika ia mengingat-Ku.” (HR. Muslim 7128) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jangan sekali-sekali salah seorang dari kalian mati kecuali dalam keadaan berbaik sangka kepada Allah.” (HR. Muslim 7410)
Berkenaan dengan tiga rukun ibadah ini ada sebuah ucapan yang populer dikalangan salaf: “Barangsiapa beribadah kepada Allah dengan di dasar rasa cinta semata, maka ia adalah zindiq (orang kafir yang menampakkan keislaman. Barangsiapa beribadah kepada Allah dengan dasar rasa takut semata, ia adalah haruri (nama lain dari khawarij). Barangsiapa beribadah kepada Allah dengan dasar rasa harap semata, ia adalah murjiah (kelompok sempalan dalam islam). Dan barangsiapa beribadah kepada Allah dengan dasar rasa takut, harap, dan cinta, ia adalah seorang mu’min yang benar ketauhidannya.

Syarat Diterimanya Ibadah
Ibadah tidak akan diterima kecuali jika menghimpun dua perkara: ikhlas dan ittiba’. Ikhlas yaitu memurnikan niat ibadah hanya untuk Allah semata. Allah ‘azza wa jalla berfirman yang artinya: “Dan mereka tidaklah diperintah kecuali untuk beribadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam beragama.” (QS. al-Bayinah: 5) “Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik).” (QS. az-Zumar: 3) “Katakanlah:“Hanya Allah saja Yang aku sembah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agamaku.” (QS. az-Zumar: 14) sedangkan ittiba’ yaitu beribadah kepada-Nya sesuai dengan tuntunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah berfirman yang artinya: “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (QS. al-Hasyr: 7) “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikanmu sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap keputusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. an-Nisaa: 65) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa mengada-adakan satu perkara dalam agama ini padahal tidak ada dasar darinya maka perkara itu tertolak.” (HR. Bukhari 2550)
Oleh karena itu ibadah tidak akan memiliki nilai jika tidak diniatkan secara ikhlas karena Allah atau tidak sesuai dengan tuntunan NabiShallallahu ‘alaihi wa sallamIkhlas dan ittiba’ dalam menjalankan ibadah  merupakan realisasi dua kalimat syahadat: syahadat Laa ilaaha illallah  (tidak ada sembahan yang benar kecuali Allah) dan syahadat Muhammad Rasulullah (Muhammad adalah utusan Allah).

Penutup
Demikianlah penjelasan tentang ibadah. Betapa kita perlu mengoreksi diri dalam perkara ini. Hendaknya kita bertanya kepada diri kita sendiri, apakah pemahaman dan penerapan kita dalam hal ibadah ini sudah benar? Apakah kita termasuk orang yang melampaui batas atau menyepelekannya? apakah kita mengerjakannya dengan senang hati ataukah terpaksa? Apakah kita mengerjakannya sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaih wa sallam?  Dan apakah kita tulus kepada Allah Subhaanahu wa ta’ala?

Sumber
Ushul Iman fii Dhaui al-Kitab wa as-Sunnah, Nukhbatun minal ‘Ulama, Tauhid Uluhiyah, Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, Aqidah Tauhid, DR. Shalih bin Fauzan al-Fauzan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar